Wednesday, December 15, 2010

Mahabbah (Cinta) kepada Allah dan Rasul-Nya

~Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang~

Assalamualaikum w.b.t..

Al-Zujaj menyatakan bahwa cinta manusia kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mentaati keduanya dan redha terhadap segala perintah Allah dan segala ajaran yang dibawa Rasulullah SAW.

Sahabat yang dicintai Allah,

Cinta adalah sumber tenaga dan kekuatan, sehingga sanggup berkorban apa sahaja demi mempertahankan cinta. Cinta orang tua kepada anak atau cinta suami kepada isteri dan sebaliknya, mestilah dibuktikan dengan pengorbanan dan perjuangan, barulah cinta itu tulen. Begitu pula cinta kita kepada Allah, ia memerlukan kepada satu pengorbanan untuk memastikan ketulenan cinta tersebut.

Bila kita sanggup berjuang berhempas pulas untuk membuktikan cinta kita kepada anak dan isteri dengan memberi apa sahaja yang mereka mahu, maka tidak ada sebab mengapa kita tidak sanggup melakukan perkara yang sama untuk membuktikan cinta kita kepada Allah. Berbeza cinta kita kepada makhluk sama ada anak, isteri, suami, orang tua dan sebagainya, maka cinta kepada Allah merupakan sumber kebahagiaan yang hakiki. Janganlah kita mencintai anak, isteri, suami, harta, rumah, pangkat, kekayaan, kemegahan; pendek kata mencintai dunia melebihi cinta kita kepada Allah dan RasulNya. Cinta kepada dunia akan berakhir dengan berakhirnya kehidupan ini, tetapi cinta kepada Allah kekal hingga dibawa mati.

Firman Allah: “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik (TQS. at-Taubah [9] : 24).

Manusia yang terlalu mencintai dunia akan menjadikan kehidupannya tertumpu kepada dunia. Banyak masa dihabiskan untuk mengejar kemegahan, kekuasaan, kemewahan, dan kerakusan mengumpul harta (wang, tanah, rumah, kereta), sehingga masa untuk mengingati Allah dan Rasul hanya tertinggal untuk waktu solat sahaja. Apabila solat juga tertinggal, maka tiada ruang untuk Allah dan Rasul di hati selain dunia. Bermakna cinta sejati bukan untuk Allah dan Rasul tetapi untuk segala apa yang dikejar di dunia yang fana ini.

Firman Allah: ”Adapun orang yang melampaui batas; dan dia lebih mengutamakan kehidupan dunia semata-mata. Maka sesungguhnya nerakalah tempat kediamannya. Dan adapun orang yang takutkan kebesaran Tuhannya dan dia menahan dirinya daripada menurut keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat kediamannya” (surah al- Nazi’at:37-41)

Apabila kita mencinta Allah dan Rasul, bermakna segala bentuk kehidupan kita tercurah kepadaNya. Jiwa, raga, ibadah, ingatan, perasaan, pekerjaan dan berbuatan sentiasa untuk Allah dan Rasul. Setiap yang dilakukan didunia ini adalah semata-mata kerana Dia, bukan kerana manusia atau pun kebendaan. Sebenarnya, apabila cinta kita hanya untuk Allah dan Rasul serta ingatan kita terhadap akhirat dapat diserapkan di dalam hati, maka dunia akan bersama menyertai kita. Bermakna kita dapat kedua-duanya. Sebaliknya jika kita mencintai dunia melebihi Allah, maka kita hanya akan dapat cinta dunia sahaja, tanpa cinta Allah dan Rasul.

Cinta (mahabbah) kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan sesuatu yang wajib ada pada seorang hamba sebagai konsekuensi keimanannya. Allah SWT –-dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 24— telah mewajibkan seorang hamba untuk menempatkan kecintaanya kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segala kecintaannya kepada yang lain. Bahkan Allah SWT memurkai siapa saja yang lebih mencintai segala sesuatu melebihi kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Sehingga cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah jenis kecintaan yang terikat dengan mafhum syar’i, karena diwajibkan oleh Allah SWT.

Sudah selayaknya manusia merenungkan betapa besar cinta Allah kepadanya. Bagaimana bisa, kita tidak mencintai Dzat yang tiada yang dapat mendatangkan kebaikan selain Dia dan tiada yang dapat melenyapkan keburukan selain Dia. Tiada Dzat yang mengabulkan do’a-do’a, yang melenyapkan semua kesulitan, yang mengampuni semua kesalahan, yang memaafkan semua kekurangan, yang menolong orang-orang meminta pertolongan, dan yang telah melimpahkan semua karunia, kecuali Dia.

Imam Ibnul Qayyim dalam bukunya, al-jawab al-kafi liman sa’ala ‘an ad-dawa’ asy-syafi menjelaskan, “Cinta itu merupakan sendi kehidupan hati dan makanan pokok jiwa. Hati tidak akan dapat merasakan kelazatan, kenikmatan, kebahagiaan, dan kehidupan tanpa cinta di dalamnya. Apabila hati telah kehilangan cinta, maka penderitaannya terasa lebih sakit daripada derita yang dialami oleh mata di kala ia kehilangan cahayanya, dan hidung di kala ia kehilangan penciumannya, serta lisan di kala kehilangan suaranya. Bahkan hati, ketika di dalamnya hampa akan cinta terhadap Sang Penciptanya, sakitnya akan lebih dahsyat dari rosaknya tubuh karena sakit jiwa. Perkara ini sulit dipercayai kebenarannya, kecuali bagi orang yang hidup hatinya.”

Seberapa sering kita mengintrospeksi diri dan bertanya pada diri kita; seberapa besar kecintaan kita kepada Allah dan Rasul-Nya?

Sudahkah kita membuktikan kecintaan itu dengan mengerjakan semua yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah SAW yang kita cintai dan menjauhi semua yang dilarang oleh keduanya?

Perhatikanlah kembali perasaan anda dan perasaan cinta anda kepada Allah SWT dan Nabi SAW.

Ingatlah selalu sabda Rasulullah SAW:“Seseorang itu akan dihimpunkan bersama dengan orang yang dicintainya.”

Imam Nawawi telah meriwayatkan dalam Syarah Muslim tentang arti cinta kepada Rasulullah SAW dari Abu Salamah al-Khaththaby. Dalam Syarah itu dikatakan, ”…Engkau tidak dikatakan benar-benar mencintaiku hingga dirimu binasa dalam taat kepadaku, dan engkau lebih mementingkan redhaku daripada hawa nafsumu, meski engkau binasa karenanya.”

Bagaimana mungkin seseorang bisa mengakui bahwa dirinya mencintai Allah dan Rasul-Nya, padahal dia mengerjakan hal-hal yang tidak sesuai dengan perintah, tuntunan, dan petunjuk Allah dan Rasul-Nya?

Bagaimana seseorang mengaku mencintai Allah dan Rasul-Nya, sementara kehidupannya justru diisi dengan aktiviti-aktiviti yang bertentangan dengan syari’at Allah dan Rasul-Nya?

Atau bahkan menentang dan menghujat syari’at Allah dan Rasul-Nya?

Mencintai Allah dan Rasul-Nya berarti taat kepada keduanya. Artinya, melaksanakan syari’at Allah dan Rasul-Nya dalam kehidupan kita. Maka dari itu, amal yang paling utama yang harus kita lakukan adalah mengetahui maksud Allah SWT yang terkandung dalam al-Qur’an dan maksud Rasulullah SAW dalam sunnahnya. Perbanyaklah membaca al-Qur’an, merenungi maknanya, mempelajari, menghafal, dan mengamalkannya.

Demikian pula, kita senantiasa mempelajari hadits dan sirah Rasulullah SAW, sehingga kita mengetahui betapa mulia akhlaqnya, betapa zuhudnya terhadap dunia, mengetahui bagaimana cara hidup beliau, bagaimana keperibadian beliau, mengetahui syari’at yang dibawa beliau, dan bagaimana cara dan metode da’wah beliau, sehingga kita akan mencintainya dan kemudian meneladaninya.

Tidak memahami syari’at Allah dan Rasul-Nya akan menciptakan kegelapan hati dan kemudharatan dunia-akhirat.

Sungguh, mencintai Allah dan Rasul-Nya di atas kecintaan kita kepada semua makhluk adalah kunci kebahagiaan setiap insan. Karena hanya dengan itu, hati menjadi tenang dan tenteram, dan hidup selalu tersinari oleh pancaran cinta dan redha Allah dan Rasul-Nya.

Special thanks to my officer, Mr Adnan Husin for sharing this article via email with me. Semoga Allah melimpahkan keberkatan dalam kehidupan tuan. InsyaAllah.

No comments: